Senin, 15 Maret 2010

Berita Pajak : Stop Praktek Window Dressing

Bisnis Indonesia, 15 Maret 2010
Target pajak disusun berdasarkan proyeksi makroekonomi awal tahun
JAKARTA: Pemerintah diduga telah menjalankan praktik window dressing penerimaan pajak selama 3 tahun terakhir dengan menetapkan target APBN yang lebih tinggi.

Pelaksanaan kegiatan membaguskan kinerja penerimaan pajak, di luar Pajak Penghasilan (PPh) Migas atau yang kerap disebut window dressing itu mencerminkan pengelolaan fiskal yang buruk.

Dradjad Hari Wibowo, Ekonom Sustainable Development Indonesia yang juga merupakan mantan anggota Komisi XI DPR, menerangkan praktik window dressing yang dimaksud adalah dengan menetapkan target APBN yang lebih tinggi.

Sehingga, lanjut dia, dalam pidato penyampaian RAPBN kenaikan pajak di luar penerimaan PPh migas, seolah-olah menjadi cukup signifikan.

Namun, kata Dradjad, dalam RAPBN Perubahan target tersebut diturunkan sekitar 5%-8% agar realisasi penerimaan pajak bisa mencapai target. Kemudian, bila terjadi shortfall, dia melihat hal itu masih dalam batas kewajaran yakni tidak lebih dari 5% terhadap target yang ditetapkan.

"Memang selama 3 tahun terakhir ini terlihat ada praktik window dressing penerimaan pajak yang sangat kasat mata. Jadi realisasi pajak selama 3 tahun terakhir ini jauh di bawah angka dalam pidato penyampaian RAPBN ke DPR," katanya kepada Bisnis kemarin.
Di satu sisi, tutur dia, pemerintah diselamatkan oleh situasi, di mana kinerja penyerapan anggaran juga sering gagal memenuhi target. Hal itu tentunya membuat defisit anggaran menjadi lebih terkendali.
"Tapi praktik window dressing penerimaan pajak, dan juga belanja APBN seperti ini harus dihentikan karena ini cermin akuntabilitas manajemen fiskal yang buruk," tegasnya.
Terus berubah

Senada dengan Dradjad, Ekonom dari Econit Advisory Group Hendri Saparini mengatakan kinerja anggaran dan penerimaan pajak memang selama ini sering dilaporkan berdasarkan target yang terus berubah (shifting target). "Bila realisasi pajak 2009 yang sebesar Rp515 triliun dikatakan mencapai 97%, ini adalah realisasi dari target yang sudah mengalamai shifting," ujarnya.

Menurut dia, rekayasa target penerimaan pajak tersebut menjadi strategi pemerintah untuk mencapai keberhasilan semu. "Tidak hanya pajak, tapi juga defisit dan pertumbuhan ekonomi. Target dipatok rendah [di bawah potensi] biar dapat tercapai," katanya.
Saat dimintai konfirmasi soal ini, Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo beralasan target penerimaan pajak dalam APBN disusun berdasarkan proyeksi makroekonomi pada awal tahun. Oleh karena itu, tegas dia, harus disesuaikan terhadap perubahan kondisi makroekonomi pada tahun berjalan. "APBN itu didisain awal tahun. Kalau ke sananya, makronya berubah, memengaruhi penerimaan. Jadi selalu ada adjustment," katanya.
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, sejak 2007 sampai dengan 2009 pemerintah selalu menurunkan target penerimaan pajak di luar PPh migas dalam setiap pengajuan APBN Perubahan. Ironisnya, meski sudah diturunkan, realisasi penerimaannya masih di bawah target, kecuali pada 2008 akibat adanya booming harga komoditas.
Dalam RAPBN Perubahan 2010, pemerintah kembali menjalankan praktik serupa, di mana target penerimaan pajak diturunkan sebesar Rp13,1 triliun menjadi Rp597,3 triliun dari target yang ditetapkan dalam APBN 2010 sebesar Rp610,4 triliun.

Tidak ada komentar:

Arsip Berita & Peraturan Perpajakan 2010

Cari Blog Ini