Senin, 29 Maret 2010

Berita Pajak

Menkeu 'gebrak' Ditjen Pajak
Bisnis Indonesia, 30 Maret 2010

Kasus keberatan pajak 2006-2009 akan diperiksa ulang

JAKARTA: Sebagai respons jangka pendek terhadap kasus makelar pajak yang melibatkan Gayus H.P. Tambunan, semua jajaran dan staf di Unit Keberatan Ditjen Pajak akan dibebastugaskan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga memerintahkan untuk memeriksa semua kasus keberatan pajak yang terjadi pada 2006-2009 dan semua kasus kekalahan di Pengadilan Pajak dalam penanganan keberatan, pemeriksaan kepada aparat pajak, wajib pajak, dan hakim pajak.

"Kementerian Keuangan akan melakukan pemeriksaan menyeluruh bidang pemeriksaan pajak. Untuk jangka pendek, membebastugaskan seluruh jajaran atau staf yang bekerja di Unit Keberatan bersama Gayus Tambunan," ujar Sri Mulyani melalui layanan pesan singkat kepada Bisnis, kemarin.

Hal tersebut merupakan satu dari delapan instruksi Menkeu yang merupakan langkah internal dalam rangka penegasan reformasi birokrasi yang dinilai gagal oleh sejumlah pihak. (lihat ilustrasi)

Gayus adalah pegawai Ditjen Pajak golongan III-A yang kini buron setelah terbukti memiliki uang senilai Rp25 miliar di rekeningnya dan diduga menerima suap dari kasus sengketa pajak.

Namun, hingga tadi malam Bisnis belum berhasil mendapatkan jumlah total pegawai yang bekerja di Unit Keberatan Ditjen Pajak dan jumlah pegawai yang berpotensi dibebastugaskan untuk sementara.

Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (Kitsda) Ditjen Pajak Bambang Basuki tidak merespons pesan singkat dan sambungan telepon dari Bisnis.

Direktur Keberatan dan Banding Ditjen Pajak Bambang Heru Ismiarso juga menolak menemui wartawan dalam konferensi pers yang sedianya digelar kemarin sore.

Tidak hanya Ditjen Pajak, Menkeu juga menginstruksikan pemeriksaan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak penghasilan (PPh) pejabat di Ditjen Bea dan Cukai hingga pegawai eselon IV dan staf pelaksana yang rawan berhubungan dengan wajib pajak dan melakukan pemeriksaan detail. Mereka juga diminta untuk menyerahkan daftar kekayaan.

Perlu tim khusus

Namun, Direktur International Center for Applied Finance and Economics (Intercafe) Iman Sugema mengatakan dibutuhkan perbaikan struktural dan sistem kelembagaan negara yang didukung oleh tim khusus pengawasan yang berisikan para intelijen.

"Jadi tidak sekadar show up force untuk menunjukkan reaksi penindakan yang berlebihan yang terkadang tidak memiliki dasar yang kuat, seperti membebastugaskan rekan satu divisi dengan Gayus. Bisa saja letak kesalahannya tidak di situ saja," tuturnya.

Pendataan kembali jumlah kekayaan dan SPT birokrat, lanjut dia, memang perlu dilakukan. Namun, itu tidak bisa menjadi satu-satunya sumber informasi yang valid untuk menilai kualitas kerja aparat.

"Jadi perlu informasi tambahan dengan membentuk tim khusus, semacam intelijen, yang keberadaannya tidak perlu diekspose ke publik. Hasilnya saja yang diungkap," paparnya.

Miftah Thoha, pakar birokrasi dari UGM, bahkan mengusulkan agar harta kekayaan seluruh pegawai Ditjen Pajak serta Bea dan Cukai dievaluasi setiap 3 bulan sekali oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menekan terjadinya praktik korupsi dan kolusi di dua instansi itu.

Menurut dia, remunerasi bukan merupakan satu-satunya instrumen untuk mereformasi birokrasi warisan Orde Baru yang memang watak dasarnya koruptif dan sentralistik.

"Reformasi birokrasi itu bukan sekadar remunerasi. Gaji itu tak ada kaitannya dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Yang terjadi saat ini justru makin tinggi gaji makin korup," katanya.

Guru besar UGM itu berpendapat harus ada diagnosa yang meyakinkan tentang penyakit utama birokrasi di Indonesia, termasuk sistem yang ada di Kemenkeu yang memiliki kekuasaan dan kewenangan besar dalam pengelolaan keuangan negara.

"Sakitnya apa, harus jelas dulu. Kalau sudah jelas diagnosanya, baru dipilih obat yang paling tepat. Bukan tiba-tiba diberi obat berupa remunerasi," katanya.

Dia menilai salah satu penyakit kronis birokrasi Indonesia adalah kekuasaan dan kewenangannya yang terlalu besar, sementara pengawasannya relatif lemah. "Makanya, perkuat institusi seperti BPKP, BPK, KPK dan keterlibatan masyarakat untuk mengontrol birokrasi."

Sempurnakan pengawasan

Hekinus Manao, Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, menilai sudah seharusnya sistem pengawasan di internal Kemenkeu, terutama pada Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai, disempurnakan agar dapat mendeteksi penyimpangan yang dilakukan dengan berbagai modus.

Menurut dia, pihaknya juga akan memanfaatkan data laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) yang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meneliti kewajaran harta setiap pejabat dan aparatur negara di instansi ini.

"Kami manfaatkan informasi-informasi yang ada. Saya sudah jajaki dengan KPK dan kelihatannya tidak ada masalah. LHKPN kami bisa memanfaatkannya," ujarnya.

Dia juga mengatakan kemungkinan diberlakukannya asas pembuktian terbalik di internal Kemenkeu guna meneliti kewajaran harta kekayaan pegawai di instansi tersebut.

Hekinus, yang juga merangkap sebagai anggota Komite Pengawas Perpajakan, mengakui memang ada instruksi dari Menteri Keuangan agar KPP memeriksa proses, kebijakan, dan administrasi di Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai.

Namun, dia belum bisa menerangkan bentuk reaksi yang akan dilakukan KPP untuk menindaklanjuti instruksi tersebut.

Sementara itu, Dirjen Bea dan Cukai Thomas Sugijata mengaku siap menjalankan instruksi Menkeu terkait dengan langkah-langkah pemberantasan makelar pajak di instansinya.

"Ini kan sudah kewajiban sebenarnya, seperti yang biasanya kami laporkan ke KPK. Kalau SPT itu kan rutin setiap tahun, kalau daftar harta kekayaan setiap 2 tahun sekali atau setiap perpindahan jabatan baru. Itu sejak 2000 kami lakukan," katanya kepada Bisnis, kemarin.

Menurut dia, jumlah pejabat struktural di direktoratnya sekitar 780 orang yang terdiri dari pejabat eselon IV sekitar 600 orang, pejabat eselon III sekitar 150 orang, dan sisanya sekitar 30 orang pejabat eselon II.

Ketua II Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Silmy Karim menilai upaya perbaikan secara kelembagaan di lingkungan Kementerian Keuangan, termasuk Ditjen Pajak, dalam 5 tahun terakhir sudah cukup baik.

"Selaku wajib pajak, yang saya harapkan adalah kelanjutan dari reformasi birokrasi dan peningkatan pengawasan. Yang terpenting diiringi dengan perbaikan mental dari wajib pajak dan aparatnya," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Arsip Berita & Peraturan Perpajakan 2010

Cari Blog Ini